Senin, 21 Januari 2013

Bisnis Yang Tidak Beretika Baik

Enam Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan Dampak Sosial
PADA 29 MEI kemarin tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun keenam. Namun demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih menyisakan tanda tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada korban belum tuntas. Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per hari.
Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286 keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya ‘belum jelas’.
Enam Tahun Menyisakan Tangis
Senin (28/5) lalu, Nanik Mulyani warga Desa Jatirejo Kecamatan Porong tak kuasa membendung derai air matanya. Sambil terisak ia bercerita tentang hidupnya yang mendadak berubah drastis semenjak lumpur membanjiri desanya dan terutama tempatnya bekerja.
Dalam diskusi enam tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/5) ini Nanik dan sejumlah perempuan lain korban lumpur bercerita, sambil terisak mereka menumpahkan endapan masalah yang tak kunjung usai.
Wanita yang sebelumnya bekerja di pabrik ini mesti menanggung kehilangan pekerjaan, karena tempatnya bekerja terendam lumpur. Belum lagi rumahnya ikut pula terendam. Lengkap sudah, pekerjaan hilang, rumahpun tak punya. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, kini Nanik bekerja sebagai pembantu rumah tangga mulai pagi hingga sore. Pada malam hari, ia mencari uang dengan menjadi tukang ojek.
Dalam hal ganti rugi, dia yang hingga kini masih mengungsi ini memilih skema pembayaran cash and carry dari PT Minarak Lapindo Jaya dengan pola pembayaran 20 persen lalu 80 persen. Tapi itupun tak menyelesaikan persoalannya. “sampai sekarang saya baru terima 20 persen, itu pun harus dibagi dengan saudara ada delapan orang,” ujarnya sambil terus terisak.
“Saya ingin uang saya dibayar. Ini sudah enam tahun. Kemarin saya ikut demo ke Surabaya, malah dilempari gas air mata,” lanjutnya.
Bertema “Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”, dalam diskusi itu ditampilkan film dokumenter tentang kehidupan korban lumpur Lapindo. Tampak kondisi taman kanak-kanak siswa korban lumpur yang hanya berdinding triplek minim fasilitas, dindingnya pun hanya menutupi separuh bangunan.
Dampak Sosial
Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya menimbulkan dampak sosial.
Masalah kesehatan misalnya. Data di Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006. Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189 penderita.
Kemudian masalah pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah masalah kecemburuan sosial dan konflik antarwarga. Mengapa demikian?
Koordinator Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang berpotensi memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah yang terkena dampak lumpur.
“Bibit konflik horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan,” kata Andrie.
Banyak warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah menetapkan wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran. Ini tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah menetapkan wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran dipercepat, sementara wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal, pembayarannya malah belum jelas.
Tuntutan
Mulai 16 April lalu, lebih dari 2.000 orang secara bergantian memblokade tanggul lumpur di titik 25, Porong, Sidoarjo. Meski terhitung menjadi korban pertama yang terusir dari kampung halaman sejak 2006, hingga kini proses ganti ruginya belum tuntas. Padahal, proses ganti rugi kepada rekan-rekan mereka yang kampungnya tenggelam belakangan malah sudah banyak yang beres.
Selama blokade, warga melarang truk-truk BPLS masuk. Praktis selama enam minggu belakangan sama sekali tak ada penguatan tanggul.
Padahal, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengatakan, curah hujan yang akhir-akhir ini cukup tinggi mengakibatkan kondisi tanggul kritis. Ia khawatir akan kondisi tanggul jika warga tetap bersikeras menduduki tanggul titik 25 sampai ada kejelasan status.
Sumber : http://hotmudflow.wordpress.com/2012/05/31/enam-tahun-lumpur-lapindo-sisakan-tangis-dan-dampak-sosial/
Saran dan Kesimpulan : Sebaiknya kasus ini segera di perhatikan dan ditangani ,karna musibah ini sudah menjalar kelingkup social. Masyarakat butuh kepastian sehingga nasib mereka tidak terlunta-lunta.
2. Kasus Baso Tiren
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Bisnis produksi bakso (pentol bakso) yang dibuat dari daging ayam tiren (daging mulai membusuk) di Dusun Pungkuran Wetan, Pleret, Bantul, terbongkar.
Polisi sudah meminta keterangan dari sejumlah saksi, dan beberapa tersangka yang diduga terlibat dalam kasus itu. Polisi pun menetapkan pemiliknya sebagai tersangka.
Kapolsek Pleret, Bantul AKP Heri Suryanto mengatakan, kasus dibagi menjadi dua bagian, berdasarkan barang bukti berupa ayam tiren dan bakso.
Pertama, kasus ayam tiren, karena saat penangkapan didapati barang bukti ayam tiren, dan saat ini surat resmi dari Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan (dispertahut) Bantul perihal pemeriksaan barang bukti berupa ayam tiren sudah ada.
Dari surat itu diketahui, ayam tiren berbahaya dan tidak layak dikonsumsi. Maka, satu tersangka secara resmi baru ditetapkan atas nama Sugiyoto (pemilik).
Selain Sugiyoto, ada beberapa orang yang sempat diperiksa polisi, hanya, saat ini statusnya  sebagai saksi dan dikenakan wajib lapor.
Untuk bakso olahan, masih menunggu hasil dari BPOM. Jika hasilnya positif menggunakan daging olahan dari ayam bangkai, maka pemilik akan dikenakan pasal dobel, yaitu mengolah ayam busuk sekaligus mengedarkan.
Diberitakan sebelumnya, dua rumah dijadikan tempat produksi rumahan bakso yang dibuat dari daging ayam tiren, di Dusun Pungkuran Wetan, Pleret, Bantul.
Informasi yang dihimpun Tribun di sekitar lokasi, produksi bakso daging tiren setidaknya sudah berjalan sekitar 10 tahun.
Tiap harinya lebih kurang 500 kilogram daging diolah kemudian dijadikan bakso. Sedikitnya, 7.000 pentol bakso diedarkan, kemudian dikunyah para penikmat bakso.
Bahkan, bisnis bakso yang tiap hari beromset jutaan Rupiah, diawali dari sepetak rumah sederhana, hingga menjadi rumah tangga yang berkecukupan lantaran memiliki bangunan rumah bagus dan memiliki kendaraan roda empat.
Kepolisian Pleret juga sudah mengamankan dua lokasi, yakni satu gudang yang digunakan sebagai tempat pengepulan dan penggilingan. Gudang itu digunakan untuk mengolah daging ayam tiren menjadi bakso. (*)
Saran dan kesimpulan : Sebaiknya konsumen lebih teliti dalam membeli baso, sehingga mereka tidak terjebak. Dan pedagang baso sebaiknya memperhatikan kesehatan dari baso yang mereka buat sehingga konsumen tidak dirugikan.
Sumber : http://www.tribunnews.com/2012/09/02/pemilik-usaha-bakso-tiren-jadi-tersangka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar