Selasa, 10 Mei 2011

PERTAHANAN NEGARA 3

PERTAHANAN NEGARA DAN POSTUR TNI

ADA sebuah cerita nun jauh di Irak sana. Tentara pemberontak tengah mengincar pesawat tempur Amerika Serikat yang tengah melintas di atas perbukitan.

“Tembak segera pesawat AS!” perintah sang komandan kepada anak buahnya.
“Siap komandan. Sudah ditembak,” jawab sang anak buah.
“Lho, itu di radar masih ada satu pesawat?”
“Tenang komandan, itu pesawat tempur milik Indonesia.”
“Lho, kenapa dibiarkan. Tembak segera!”
“Ngapain buang-buang energi. Nggak ditembak juga pesawat milik Indonesia jatuh sendiri,” jawabnya enteng.

Anekdot ini memang kurang ajar banget. Tetapi di sisi lain memang ada benarnya karena dalam sepuluh bulan terakhir kecelakaan alutsista terus terjadi. Pesawat latih tempur jenis OV-10F Bronco meledak di udara dan jatuh di ladang tebu Desa Bunut Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur (24/6/2007).

Selain itu, pesawat Nomad pengintai milik TNI AU juga jatuh di Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam (30/12/2007). Selanjutnya, pesawat Twin Pack TNI AU lagi-lagi jatuh Senin (8/1/2008) di Pelalawan, Riau. Kecelakaan itu menewaskan orang terkaya ke-14 di dunia, Robert Chandran, warga Singapura.

Terakhir, tujuh personel Marinir tewas setelah ikut tenggelam bersama tank Amphibi dalam latihan militer di Situbondo, Jawa Timur (2/2/2008).

Menanggapi semua kasus kecelakaan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai merasa perlu menginstruksikan pimpinan TNI untuk mengandangkan (grounded) semua alutsista yang diproduksi pada tahun 60-an.

SBY juga mengeluarkan ancaman dan akan memberikan sanksi kepada pemimpin semua angkatan bila tetap mengoperasikan alutsista yang sudah uzur.

Namun, permintaan SBY ini paradoks dengan pernyataanya kemudian yang meminta TNI untuk berhemat. Bahkan DPR yang memberikan perhatian khusus dengan meningkatkan anggaran pertahanan untuk 2008 sebesar Rp 100,6 triliun tapi pemerintah hanya sanggup merealisasikannya sebesar Rp 36 triliun.

Parahnya lagi seperti dikutip Antara (22/2), Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana memotong anggaran itu sebesar 15 persen di semua departemen termasuk untuk Dephan. “Apa kata dunia!” demikian gambaran kondisi pertahanan Indonesia dengan meminjam ungkapan Nagabonar.

Paradoks tersebut semakin jelas ditelanjangi dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI (2007). Buku ini membedah kelemahan sistem dan postur pertahanan Indonesia yang tak pernah ideal. Indonesia seperti ditakdirkan berbadan besar tapi bajunya kesempitan melulu.

Pagu anggaran militer Indonesia selalu jauh dari yang diharapkan Departemen Pertahanan. Misalnya, untuk 2007 Indonesia idealnya memiliki dana pertahanan senilai Rp 150 miliar atau naik 540 persen dari anggaran sebelumnya. Tapi kalau ini dipenuhi berarti dana APBN 2007 yang tersedot militer mencapai 86,6 persennya.

Padahal, untuk mencapai pertahanan dan postur TNI yang ideal minimal Indonesia harus mendekati anggaran pertahanan yang dimiliki Singapore Armed Forces (SAF). Sejak 1990 kebijakan luar negeri Singapura dibangun secara luas sebagai bentuk soft politics yang didasarkan pada kekuatan ekonomi, teknologi dan militer.

Sebagai bahan perbandingan, pada Tahun Anggaran (TA) 2005 dana pertahanan Singapura mencapai 5,57 miliar dolar Amerika Serikat. Sedangkan Indonesia hanya 2,34 miliar dolar. Bandingkan dengan luas cakupan yang harus diamankan Indonesia yang mencapai 1.904.443 kilometer persegi dengan Singapura yang hanya 648 kilometer persegi.

Pertahanan juga tak bisa dilepaskan dengan globalisasi di segala bidang yang sangat masif. Globalisasi dunia yang diakibatkan kemajuan teknologi telah mengubah pola tingkah laku manusia sebagai individu, masyarakat maupun sebagai bangsa dalam suatu negara.

Internet, televisi dan alat komunikasi canggih lainnya dengan leluasa telah menerobos hingga ke kamar-kamar pribadi masyarakat dunia termasuk Indonesia.

Globalisasi pada akhirnya akan membuat sebuah negara yang dominan, leluasa mencengkram negara miskin. Ekonomi pasar semakin merajalela dan pada akhirnya akan memunculkan kecemburuan, tekanan dan konflik.

Menarik apa yang ditulis Connie Rahakundini Bakrie dalam rekomendasi di akhir buku Pertahanan Negara dan Postur TNI ini. Untuk masalah anggaran biaya pertahanan, Connie meminta kerelaan dan proaktif pemerintah sipil untuk memperhatikan anggaran TNI. Sebab pembangunan TNI yang ideal dalam pendangan penulis tergantung pada kebijakan pimpinan sipil. (Hal. 219)

Bila ini dikaitkan dengan rencana pemotongan 15 persen anggaran pertahanan TA 2008 sebesar 15 persen itu berarti pemerintahan sipil harus bijak. Melihat persaingan yang begitu tinggi dan kecenderungan konflik antara Indonesia dan negeri jiran yang semakin tinggi akhir-akhir ini pemotongan anggaran perlu dipikir berulangkali.

Artinya, pemerintah tidak bisa menyeragamkan pemotongan di setiap departemen dan Dephan harus dalam pengecualiaan.

Melihat konflik yang cenderung terus memanas dan globalisasi yang kian tak terbendung visi pertahanan militeristik untuk Indonesia tidak bisa dinafikan.

Pertama, perekonomian dapat diciptakan melalui kekuatan militer. Hal ini dapat dibuktikan dengan sejarah. Minimal dapat dilihat pada masa kolonialisme Eropa. Sebuah korporasi bisa menjadi besar karena memiliki angkatan perang seperti VOC.

Kedua, daya saing masyarakat Indonesia di bidang ekonomi baik kualitas keahlian maupun tingkat modal masih sangat terbatas. Sehingga kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun juga yang bersifat ekonomi dan berbasis usaha kecil akan mendapat tekanan dan hambatan dari kapitalisme global yang berujung pada tekanan secara politik ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar